Rekaman jejak pencapaian masa depan

Sri Estuningsih (Estu) awalnya berburu bakteri dalam susu formula untuk penelitian doktoral saat menempuh pendidikan bidang Mikrobiologi dan Patologi di Justus Liebig Universitat, Gieben, Jerman.

Penelitian yang awalnya mencari penyebab diare pada bayi, dengan fokus pada Salmonella, Shigella dan E. Coli sebagai bakteri penyebab diare, justru menemukan Enterobacter Sakazakii.

Enam tahun setelah penelitian dilaksanakan, Estu justru menghadapi tuntutan hukum. Adalah David Tobing, Pengacara Publik yang berturut-turut memenangkan tuntutan di level Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah 1ee8 Konstitusi (MK).

Isi tuntutan tersebut adalah agar Institut Pertanian Bogor (IPB), Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Bpom) mengumumkan merek susu yang terpapar Enterobacter Sakazakii sesuai penelitian Estu yang dilaksanakan mulai tahun 2003 itu.

Pasalnya, penelitian yang mulai dilakukan pada 2003 itu bukanlah penelitian survaillance, artinya peneliti tidak mendaftar seluruh merek susu yang beredar di pasaran, melainkan semata mencari bakteri yang terdapat pada susu.

Apabila merek susu diungkap, hal itu tentunya tidak adil dan diskriminatif karena sampel tidak mewakili seluruh jenis susu dan makanan bayi yang beredar dipasaran. Padahal E. Sakazaki adalah jenis bakteri yang dapat dijumpai di mana-mana, termasuk dalam usus manusia yang tidak sakit.

———

Penelitian yang awalnya dilakukan di Jerman tersebut sebenarnya menyoroti cemaran Salmonella, Shigella dan E. Coli berkaitan dengan diare pada bayi. Bukannya menemukan ketiga bakteri tersebut, Estu justru menemukan cemaran E. Sakazakii sebanyak 13,5%, atau ditemukan dalam 10 dari 74 sampel. Pada 2004 bakteri itu masih ditemukan dalam 3 sampel dari 46 sampel yang diteliti.

Penelitian yang sama pada 2006 justru menemukan kecenderungan yang lebih tinggi E. Sakazakii ditemukan dalam 22,73% sampel susu formula dan 40% sampel makanan bayi.

Dari hasil karakterisasi bahaya yang dilakukan dalam penelitian pada 2006, ditemukan bahwa E. Sakazakii dapat menyebabkan enteritis, sepsis dan meningitis. Karena dianggap berbahaya, pada 2006 hasil penelitian tersebut dilaporkan ke BPOM.

Penemuan itu menjadi pertimbangan bagi IPB untuk mengajukan ke BPOM agar Indonesia mengikuti aturan Codex Alimentarius Commission untuk membatasi kadar cemaran E. Sakazakii dalam susu formula, makanan bayi, serta barang konsumsi lain.

Selain itu pada saat itu pihak IPB berharap agar BPOM dapat melakukan penelitian yang lebih memadai, misalnya dengan metode survaillance agar dapat menyertakan keseluruhan merek susu formula dan makanan bayi yang beredar di pasaran.

Baru pada 2009 BPOM mengadopsi Codex yang mengatur cemaran E. Sakazaki. Bpom juga melakukan survaillance terhadap seluruh merek susu dan makanan bayi yang beredar di pasaran.

Survaillance terus berlanjut hingga saat ini, tetapi Bpom sudah tidak menemukan satu pun merek susu yang mengandung cemaran E. Sakazaki, paska adopsi Codex itu.

“BPOM adalah lembaga pengawas, kami tidak dapat melakukan pengawasan sebelum ada aturannya. Oleh karena itu Codex harus diadaptasi kemudian kami melakukan pengawasan terhadap susu yang beredar di pasaran mulai 2009, berdasarkan Codex” Jelas Kustantinah, Kepala BPOM.

Berdasarkan fungsi pengawasan itulah BPOM mengumumkan hasil penelitiannya terhadap berbagai susu yang ada di pasaran. Sejak 2009 hingga kini Bpom telah meneliti 117 jenis susu di pasaran Indonesia yang kesemuanya aman dari E. Sakazaki.

Herry Suhardiyanto, Rektor IPB mengatakan untuk mengumumkan jenis susu yang aman dan tidak aman demi memenuhi kepentingan publik merupakan kewenangan Bpom, apalagi Bpom telah melakukan penelitian paling baru dari segi waktu serta mencakup seluruh jenis susu formula dan makanan bayi yang ada.

Apabila IPB terpaksa mengumumkan merek susu dengan cemaran E. Sakazaki berdasar hasil penelitian Estu, hal tersebut akan menyalahi prinsip keadilan dalam penelitian karena sampel yang digunakan belum mencakup seluruh sampel yang beredar di pasaran.

Padahal sampel yang tidak diteliti belum tentu terbebas dari cemaran. Hal ini tentu tidak adil dan mendiskriminasi pihak tertentu karena tidak seluruh sampel yang ada diteliti.

Sementara itu,  kewajiban mempublikasikan isi penelitian sudah dilakukan IPB dan Estu melalui berbagai Jurnal Internasional. Hasil penelitian tersebut juga telah dipaparkan dalam pertemuan internasional tentang E. sakazakii yang diselenggarakan oleh WHO dan FAO di Roma, Italia pada 2006.

Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengungkapkan pihaknya tidak dapat memaksa IPB untuk mengumumkan merek susu karena IPB adalah lembaga independen yang tidak memiliki kewajiban melaporkan hasil penelitiannya.

Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional juga menghargai sikap IPB untuk tidak menyebutkan merek susu yang menjadi sampel penelitian karena telah diatur dalam kode etik internasional bahwa merek produk yang menjadi objek penelitian tidak disebutkan.

Selain itu dia juga menyatakan kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan pada penyelenggara pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dilindungi oleh hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 UU No 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional.

———-

Di Luar persoalan hukum, probabilitas infeksi oleh E. Sakazaki sangatlah kecil, terhitung hanya ada 48 kasus bayi yang terinfeksi selama 42 tahun dalam kurun waktu 1961-2003. E. sakazaki juga hanya berbahaya bagi bayi di bawah usia 28 hari, bayi yang lahir dengan berat badan rendah, prematur, serta bayi dengan human immunodeficiency virus (HIV).

Oleh karena itulah bayi baru lahir hingga usia enam bulan sangat disarankan untuk mengonsumsi ASI eksklusif. Akan tetapi jika harus ditambahkan dengan susu formula penyajiannya harus dipastikan higienis karena pencemaran E. Sakazaki tidak hanya terjadi dari bahan baku maupun pasteurisasi susu, tetapi juga ketika pembukaan kemasan susu hingga susu disiapkan.

E. Sakazaki sebenarnya mudah dilumpuhkan. Bakteri tersebut akan mati dalam 15 detik jika berada pada suhu 70 derajat celcius atau lebih. Penyajian susu pun harus diperhatikan, misalnya susu yang sudah dingin lebih dari dua jam sangat riskan terkena bakteri.

Jika penyajian makanan bayi dilakukan dengan mengikuti peraturan yang ada, maka infeksi bakteri tidak mungkin terjadi. Namun demikian, masyarakat sudah terlanjur resah, kerugian juga bisa jadi akan dialami oleh industri susu nasional, sementara pemerintah tak kunjung memberikan penjelasan memadai.

Pihak pemerintah, dengan BPOM dan kementerian Kesehatan sebagai tergugat, seharusnya mengambil langkah untuk mulai mengedukasi masyarakat, alih-alih bersembunyi dan memojokan pihak tertentu di balik keputusan hukum.

Selain itu, jika dibiarkan berlarut, tuntutan hukum ini dapat memicu keresahan peneliti sehingga mereka enggan berkreasi dan berinovasi menghasilkan penelitian. Jika sudah begitu maka masyarakat juga yang dirugikan akibat kemandegan ilmu pengetahuan serta kesehatan di Indonesia.

sumber : bisnis-jabar.com

SUSU SEHAT

Kasus susu bakteri, IPB (tidak) lempar batu sembunyi tangan

Comments on: "Kasus susu bakteri, IPB TIDAK lempar batu sembunyi tangan" (55)

  1. wah… ane baru tau gan…

  2. we love our almamateerr 😀

  3. Terlepas dari buruknya kontrol BPOM dan KemenKes Tetapi menurut saya IPB tetap harus berani mempublikasikan hasil temuan ilmiah tersebut. katakan hitam adalah hitam katakan putih adalah putih. karena saya justru melihat banyak kejanggalan dalam penelitian tersebut, terkait pengambilan sampel khususnya. Kalo sejak semula penelitian tersebut dianggap dapat membuat masyarakat resah seharusnya tidak perlu dipublikasikan bahkan untuk internal civitas akademika IPB sekalipun. Namun perlu diingat salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi; adalah Pengabdian Masyarakat. So ketika masyarakat menuntut suatu tindakan dari IPB, maka IPB harus segera mengambil tindakan.Kalo data dan faktanya ada kenapa harus takut.
    suara alumni IPB 2004

    • ka arief : Untuk publikasi hasil penelitian berdasarkan artikel di atas, peneliti sudah melakukan publikasi di jurnal2 internasional. Sedangkan untuk publikasi merek susu yang diuji, sudah dilakukan oleh BPOM (sebagai pihak yg berwenang dan bertanggung jawab terhadap keamanan bahan pangan), karena, untuk mengumumkan jenis susu yang aman dan tidak aman demi memenuhi kepentingan publik merupakan kewenangan Bpom, apalagi Bpom telah melakukan penelitian paling baru dari segi waktu serta mencakup seluruh jenis susu formula dan makanan bayi yang ada.
      Data terbaru pengujian badan pom tahun 2009, telah menyatakan 117 produk telah bebas bakteri E. Sakazaki.

  4. untung bukan it telkom yang bikin sensasi
    *komen ga nyambung*
    ahahaha

  5. tapi itu juga adalah smapel susu tahun 2003-2006 yang d temukan ada cemaran dan tahun 2009-sekarang sudah diteliti ulang dari sampel yang ada d pasaran sudah tidak ditemukan cemaran, jadi gak ada masalah IPB gak ngumumin sampel yang tercemar itu.

    yang penting sekarang kita mesti lebih waspada dengan hal2 yang bisa menimbulkan cemaran pada susu, se[erti yang di bilang ama Ibu Menkes tempo hari.

  6. ehm.
    mungkin ini cerminan negara kita,
    sepertinya pemerintah ga mau kena sentil macem gini
    dengan kata lain, pemerintah alergi sama institusi atau orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk meningkatkan s\kesejahteraan bangsa Indonesia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menyenggol ranah-ranah kesemrawutan yang dianggap orang baik-baik saja
    ga perlu jauh-jauh, seberapa bangga negara ini bangga dengan pesawat gatotkaca buatan anak bangsa sendiri yang dirancang BJ Habibie ? Masih teringat dikepala kita dimana pesawat ini menjadi primadona negara-negara lain untuk membelinya dengan harga murah dan kualitas menakjubkan untuk pesawat sekelasnya, dengan sangat mudahnya proyek ini ditutup lantaran kudu mengamini syarat-syarat IMF untuk mendapatkan bantuan, sungguh ironis, sudah sama Belanda dijajah dan dipaksa bodoh, ternyata bangsa sendiri ingin wong ciliknya tetap dijajah dan dibodohi
    Malu saya jadi warga negara Indonesia, saya cuma bangga berbangsa Indonesia

  7. heei tetep ajaa itu bahaya…emng orang kita ga ngehargain nyawa…harusnya bs di umumkan biar kita semua tau..ingat yg di bahayakan adalah generasi penerus bangsa…

  8. walaupun bs di matikan dengan suhu tinggi tetap saja jika di konsumsi secara rutin bs menyebabkan bahaya dan berujung fatal..tlg ngapain bikin penelitian tp hanya di simpan sendiri?
    ok klo ibi yg memiliki asi yg cukup tetapi klo asi nya tdk bs keluar bagaimana?kasih solusi jgn bikin masyarakat tmbh bingung

    • Penelitian ini tidak disimpan sendiri, terbukti bahwa Penemuan itu menjadi pertimbangan bagi IPB untuk mengajukan ke BPOM agar Indonesia mengikuti aturan Codex Alimentarius Commission untuk membatasi kadar cemaran E. Sakazakii dalam susu formula, makanan bayi, serta barang konsumsi lain. Kemudian pada 2009 BPOM mengadopsi Codex yang mengatur cemaran E. Sakazaki. Bpom juga melakukan survaillance terhadap seluruh merek susu dan makanan bayi yang beredar di pasaran. Survaillance terus berlanjut hingga saat ini, tetapi Bpom sudah tidak menemukan satu pun merek susu yang mengandung cemaran E. Sakazaki, paska adopsi Codex itu. Berdasarkan fungsi pengawasan itulah BPOM mengumumkan hasil penelitiannya terhadap berbagai susu yang ada di pasaran. Sejak 2009 hingga kini Bpom telah meneliti 117 jenis susu di pasaran Indonesia yang kesemuanya aman dari E. Sakazaki. Jadi tidak usah khawatir karena BPOM telah menjamin kemanannya.

  9. @ mas arif:sebagai sesama alumni IPB saya sangat menghargai pendapat anda. Tapi tolong anda baca, pahami dan telaah dengan baik2 kalimat-kalimat ataupun redaksi-redaksi dalam artikel di atas TERUTAMA yang di-BOLD.
    IPB sebagai Institusi Perguruan Tinggi yang notabene harus menjunjung tinggi Tri Dharma Perguruan Tinggi menurut saya telah melakukan langkah-langkah yg sudah bagus,yaitu melaporkan ke badan atau pihak yang lebih berwenang dalam kasus ini. IPB hanya sebagai fasilitator.
    So,kita sebagai masyarakat yang notabene intelek harus membantu untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat umum khususnya ibu-ibu bagaimana menanggulangi adanya susu yang tercemar bakteri tsb,klo saya pikir artikel di atas sudah memberikan penjelasan bagaimana mengatasi susu yg tercemar bakteri tsb. Dan jangan malah memperkeruh suasana apalagi memojokan institusi yg telah besarin saudara.
    Terima Kasih.
    Salam hangat dari alumni IPB.

    • terimakasih mas. saya setuju bahwa kita harus membantu untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat umum agar tidak terjadi keresahan yang berlebihan di masyarakat.

  10. hummmmm……………,
    gelap akh……

    yg aku dnger dri konfrensi yg kmarin2 susu2 dah aman…..

    ywdah ngapain di gunjang gunjingin

  11. semoga semua pihak yang terkait bisa menemukan jalan keluar yang terbaik

  12. @Arief.

    Hasil penelitian sudah dipublikasikan di jurnal ilmiah dan pertemuan ilmiah Internasional.
    Sudah dikatakan hitam adalah hitam, putih adalah putih.
    Tentunya, semuanya itu berdasarkan etika dan tata-krama ilmiah.

  13. Bagas Karyadi said:

    Wah, si Citra blogger juga rupanya!!! Mantab gan!! Good job makasih linknya!!!

  14. Sausan Anbar Mardiyah said:

    akhirnya sya tau duduk permasalahannya dimana…

  15. Mendukung !

  16. setuju sama pendapatnya febrian dan purwanto..
    yang terpenting sekarang bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah..dan sekarang bukan saatnya untuk saling mencari kekuatan.
    yang terpenting adalah gimana caranya biar masyarakat tidak terus resah..

  17. Saya kira tugas IPB sudah sangat cukup. Selebihnya adalah tugas penyelenggara negara ini (BPOM) untuk menjamin warganya merasa aman,khususnya konsumsi susu. Mungkin BPOM harus improve cara sampling dan metode yang digunakan (updated).

  18. Khairil Anwar Syam, S. Si said:

    Bagi yang paham mikrobiology, mohon membantu menjelaskan kepada masyarakat agar jernih dalam menyikapi masalah ini. Setahu saya, masalah sakazakii ini udah saya ketahui dari tahun lalu.. sepertinya sengaja dihembuskan lagi agar masyarakat resah… Bakteri kalo dah mati pada suhu tertentu ya ga akan aktif lagi…

    • Ya betul, bakteri yang dipanasakan pada suhu tertentu (tinggi) akan mati dan tidak akan aktif kembali. Jadi tidak usah terlalu khawatir dan berlebihan menyikapi masalah ini, karena solusi pencegahannya telah dipaparkan dengan sangat jelas oleh ahlinya (dalam artikel dia atas)

  19. @ Mas Purwanto & Garnadi :
    setuju…

    @ arif :
    coba anda baca beberapa kali lagi artikel di atas kalau memang anda belum juga paham

    ‘Alumnus IPB’

  20. Thnks bwt artikelny mba…ijin dshare yaah.
    nambah wawasan n pemahaman ttg etiket Riset jg…
    *jd kangen ngelab d kampus…heee

    kadang pihak media sbg mediator k masyarakat jg yg kadang kurang bs nyerna informasi yg sebenarnya,ujung2nya muncul keresahan d masyarakat…n larinya k pihak2 peneliti…^^

    Bravo IPB….Bravo Indonesian Researcher!!!
    -alumni C’41-

    • sami2, artikel ini sy dapat dr sumber media : bisnis-jabar.com

      ya,, beberapa media kadang terlalu berlebihan mengekspose informasi ini.. Sehingga kerap kali terjadi salah kaprah..

  21. setuju!!!
    saya juga trima kasih telah membela institusi yang tercinta ini!!!

  22. Aku setuju. IPB bukanlah lembaga yang tidak memiliki aturan kode etik. IPB tidak umumkan merk susu pasti ada alasannya (spt telah diungkapkan di atas). Dan lagian menurut penelitian mutakhir, bakteri itu sudah tidak ada, so i’Allah semuanya sudah baik. Tinggal kita berhati2 saja…!!!!!!

  23. bisa di share ke FB ga mba,,,,hhe..biar temen2 laen pada tau

  24. saya sangat yakin dengan independensi dan kapabilitas dosen2 ku tercinta…tidak ada motif apapun dibalik peneltian ini sebagaimana yang banyak masyarakat duga2..

    @Arif..”ada kejanggalan”…..sebagai alumni anda sudah menuduh yang tidak2 dengan almamter tercinta ini..sya selama kuliah di IPB tidak ada satu pun dosen2 kita yang cacat secara moral..dididik dan digembleng untuk menjadi manusia seutuhnya dan menjadi teladan bagi masyarakat….
    sekali lagi tuduhan tanpa fakta itu fitnah..coab anda bersikap ilmiah

  25. Karisma Bio 37 said:

    Kalau memang kejadian sebenarnya seperti yang dipaparkan di atas, sepertinya memang sebuah dilema. Satu sisi semua penelitian memang harus dipublish, minimal di intern lembaga, tapi di sisi lain masyarakat punya hak untuk sekedar tahu apa saja yang terkandung di dalam sebuah makanan atau minuman yang dia masukkan ke dalam tubuh. Pengabdian Masyarakat merupakan salah satu tridarma perguruan tinggi, jadi berlandaskan itu, ada baiknya perguruan tinggi mulai mempertimbangkan untuk membuat sebuah skala prioritas dan proteksi untuk sebuah hasil penelitian. Jadi, nantinya hasil penelitian tidak semua dipublish ke umum dengan selebar-lebarnya, terutama untuk penelitian yang bersinggungan langsung dengan kepentingan masyarakat banyak, ditambah kalau penelitian itu belum selesai, masih dalam satu payung besar penelitian. Sekarang kita harus bisa mengambil hikmah dari semua ini. IPB harus mengedukasi masyarakat dengan informasi yang sebenar-benarnya dan seutuhnya, Pemerintah harus bisa tegas terhadap implikasi hasil sebuah penelitian, kalau memang merugikan rakyatnya jangan takut untuk memberi sanksi kepada yang salah, tak peduli itu investor terbesarpun! Salam Kangen Dengan Civitas gw…IPB

Tinggalkan Balasan ke ci2t141088 Batalkan balasan